HUKUMAN CAMBUK DI MASA PANDEMI COVID-19

HUKUMAN CAMBUK DI MASA PANDEMI COVID-19

Dr. Indra Suhardi, M. Ag.

(Hakim Mahkamah Syar’iyah Sigli)

I.             PENDAHULUAN

Sejak menyebarnya virus corona disease (covid-19) di Indonesia sekitar bulan Maret 2020 telah banyak mempengaruhi beberapa kebiasaan hidup masyarakat. Masyarakat yang sebelumnya tidak terbatas aktifitasnya dengan pandemi covid-19 ini menjadi terbatas. Kegiatan perkantoran pemerintah dan swasta terkadang dilakukan dengan bekerja di rumah (WFH) karena tidak  sepenuhnya bisa bekerja di kantor (WFO). Kegiatan belajar mengajar dilaksanakan secara daring (online) antara guru dengan murid, sebagian rumah ibadah dan pabrik ditutup demi mencegah penyebaran virus corona. Dalam konteks peradilan, wabah covid-19 juga memberikan dampak yang serius. Business proses pada Mahkamah Agung dan lembaga peradilan di bawahnya juga disesuaikan dengan protokol kesehatan yang diterbitkan Pemerintah. Kegiatan peradilan yang selama ini berjalan rutin harus dibatasi demi keselamatan pegawai pengadilan dan para pencari keadilan. Hal ini sesuai dengan asas Salus Populi Suprema Lex Esto (keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi).[1]

Di bidang penegakan hukum juga berimbas kepada para narapidana yang sedang menjalani hukuman penjara dalam lembaga pemasyarakatan. Pemerintah, dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM beberapa waktu yang lalu telah mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Menkumham Nomor 10 Tahun 2020,[2] dengan membebaskan nara pidana sebanyak 30.000 orang di seluruh Indonesia melalui program asimilasi dan integrasi selama masa pandemi covid-19. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penyebaran virus corona yang lebih luas di dalam penjara.[3] Sebab, bila kebijakan ini tidak diambil dikhawatirkan lembaga pemasyarakatan (LP) akan menjadi tempat (klaster) baru covid-19 menyebar kepada seluruh penghuni penjara. Apalagi kondisi lembaga pemasyarakatan  sekarang ini di sebagian tempat terjadi over capasity karena banyaknya orang melakukan kejahatan dan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu berbanding terbalik antara fasilitas penjara yang ada dengan tingkat kejahatan di masyarakat.

Berbeda dengan hukuman cambuk[4] di Aceh, hukuman ini tetap eksis di masa pandemi covid-19 ini, bisa dikatakan tidak berpengaruh dalam penegakannya. Indikasinya sebanyak 23 buah Mahkamah Syar’iyah tingkat pertama yang tersebar di berbagai kabupaten/kota di Aceh, yang merupakan peradilan syariat Islam dalam sistem peradilan nasional dalam lingkup peradilan agama, siap menyidangkan para pelanggar syariat.[5] Bahkan dalam masa pandemi covid-19 ini telah di laksanakan eksekusi hukuman cambuk sebanyak 133 perkara sedangkan hukuman kurungan (penjara)  sebanyak 36 perkara,[6] sebagai produk putusan hakim Mahkamah Syar’iyah periode Maret 2020 sampai dengan akhir bulan September 2020. Berdasarkan data ini terlihat eksekusi hukuman cambuk terlaksana tanpa kendala di Kabupaten/Kota di seluruh Aceh dan terlihat pula dari data itu hukuman cambuk adalah merupakan hukuman yang dominan divonis oleh hakim bagi pelanggar qanun jinayat;

II.  PEMBAHASAN

a.      Hukuman cambuk di Aceh

Pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh tidak terlepas dari bingkai sejarah pelaksanaan hukuman dalam Islam. Hukuman cambuk pada dasarnya merupakan jenis hukuman yang tidak asing dalam sistem hukum pidana Islam. Jenis hukuman ini memang sudah tercantum dalam al-Qur’an, sunah dan praktek para sahabat.[7] Praktek Rasulullah dalam mengadili perkara jarimah yang ancaman hukumannya di cambuk, maka beliau menjatuhkan hukuman cambuk dengan jumlah yang bervariasi. Dalam kasus tertentu, dijatuhi hukuman cabuk sedkit dan dalam kasus lain dijatuhi hukuman cambuk yang berat. Hukuman cambuk ini disebutkan dalam al-Qur’an (surat al-Nur: 2) untuk tindak pidana zina dan qadzaf (surat al-Nur : 4); dan dalam beberapa hadits untuk pidana khamar (minuman keras) dan ta’zir. Jumlah sebatan (red.cambuk) yang disebutkan dalam al-Qur’an untuk zina adalah 100 kali sedangkan terhadap pidana qadzaf (menuduh orang lain berzina) adalah 80 kali. Untuk hukuman terhadap pemabuk berdasarkan beberapa hadits ialah 40 kali. Pada masa Umar, hukuman 40 kali ini justru ditambah menjadi 80 kali. Rupanya Umar melihat bahwa cambuk 40 kali itu tidak mempan lagi dan beliau bermusyawarah dengan para sahabat seperti Ali dan mereka sepakat menetapkan cambuk 80 kali bagi peminum khamar.[8]

Syariat Islam di Aceh memang merupakan tuntutan masyarakat, sebab penduduk Aceh mayoritas Muslim dan orang Aceh itu sendiri seratus persen Muslim. Seorang Antropolog Belanda B.J. Boland, setelah membuat penelitian di Aceh mengatakan: being an Acehnese is equivalent to being a Muslim (menjadi orang Aceh identik menjadi Muslim).[9] Sehingga tidak heran bila orang Aceh terkadang di cap fanatis dalam beragama yaitu Islam karena memang sejak kecil telah hidup dalam kultur sosio budaya, serta adat istiadat yang Islami.

Pada masa kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Raja Iskandar Muda, yang terkenal berani, adil dan menjadi rujukan kepada dunia luas karena keadilan dan ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena taatnya kepada Allah maka negeri yang ia pimpin menjadi makmur dan penuh berkah. Tingkat keadilan Iskandar Muda adalah berani mengambil tindakan kepada siapa saja yang melakukan kesalahan, walaupun anggota keluarganya sendiri. Suatu masa ketika seorang perwira muda baru pulang dari tempat latihan di Blang Peurade melihat istrinya sedang berzina dengan Meurah Pupok putra Iskandar Muda. Karena sakit hati yang sangat mendalam si perwira langsung menghunus pedang dan membunuh istrinya. Selanjutnya, bersama mertua si perwira melapor kejadian tersebut kepada raja, lalu raja memerintahkan menteri kehakiman untuk menyelidiki kasus tersebut. Setelah mendapat pengakuan dari Meurah Pupok sendiri maka Sultan langsung melakukan hukuman rajam terhadap putra mahkotanya.[10]

Bertitik tolak dari sejarah itu lah, ketika hukuman cambuk di Aceh mulai diterapkan banyak menuai kritikan dari masyarakat, organisasi bahkan lembaga HAM Internasional. Kritikan itu bila diperhatikan terbelah menjadi dua, ada yang memberi pembelaan secara konstruktif untuk terlaksananya Syariat Islam di Aceh, namun sebaliknya ada juga pihak-pihak yang  melemahkan pelaksanaannya dengan membentuk opini bahwa hukum Islam itu kejam, cambuk itu sadis, barbarian dan sebagainya. Issue yang sangat santer diangkat adalah bahwa hukuman cambuk di Aceh melanggar HAM. Atas dasar itu, beberapa kelompok masyarakat meminta agar hukuman cambuk itu dihentikan.[11] Namun pro dan kontra itu lama kelamaan semakin sepi sekalipun tidak hilang. Mungkin bisa diilustrasikan ibarat kebenaran dan kebatilan terus bergumul hingga waktu yang tidak ada ujungnya. Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh semakin menjadikan hukuman cambuk legitimate dan sedikit mengurangi eskalasi perdebatan eksistensi hukuman cambuk tersebut. Undang-Undang ini diperkuat dengan lahirnya Qanun nomor 7 Tahun 20013 tentang hukum acara jinayat dan Qanun hukum materil nomor 6 Tahun 2014. Ketiga buah regulasi tersebut semakin melegetimasi pelaksanaan syariat Islam di bumi serambi mekkah ini. Ketiga regulasi itu didukung dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan tupoksi lembaga penegakan hukum yang ada di Aceh seperti peran kepolisian, kejaksaan, wilayatul hisbah (WH) dan lembaga pemasyarakatan.

Ada 10 jenis jarimah (pidana) yang telah menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh untuk mengadilinya, ke 10 jenis jarimah itu 1.  Khamar , 2. Maisir, 3. Khalwat, 4. Ikhthilat, 5. Zina, 6. Pelecehan seksual, 7. Pemerkosaan, 8. Qadzaf, 9. Liwath. 10. Musahaqah.[12] Sejak di serahkan kewenangan mengadilinya ke 10 jenis jarimah tersebut kepada Mahkamah Syar’iyah di Aceh, Mahkamah Syar’iyah di Kabupaten/ Kota telah aktif dan eksis menyidangkan perkara jinayat tersebut. Adapun prosessuil persidangan bagi hakim berpedoman kepada Qanun hukum acara jinayat nomor 7 Tahun 2013. Ke 10 jenis perkara ini terus berkembang dari waktu ke waktu dengan tingkat kasus yang masuk ke Mahkamah Syar’iyah. Putusan hakim pun beragam direspon oleh masyarakat, demikian pula oleh Terdakwa sebagai subjek hukum maupun Penuntut Umum sebagai pengacara negara yaitu ada menggunakan upaya hukum banding bahkan sampai ke tinggkat kasasi. Namun tidak sedikit pula yang menerima putusan hakim karena dianggap sesuai dengan kesalahan yang dilakukan dan sesuai dengan rasa keadilan hukum dan masyarakat.

Sebagaimana telah di sebutkan pada bagian pendahuluan di atas, pada masa pandemi covid-19 ini telah di laksanakan eksekusi hukuman cambuk sebanyak 133 perkara sedangkan hukuman kurungan (penjara)  sebanyak 36 perkara, sebagai produk putusan hakim Mahkamah Syar’iyah periode Maret 2020 sampai dengan akhir bulan September 2020. Berdasarkan data ini terlihat eksekusi hukuman cambuk terlaksana tanpa kendala di Kabupaten/Kota di seluruh Aceh dan terlihat pula dari data itu hukuman cambuk adalah merupakan hukuman yang dominan divonis oleh hakim bagi pelanggar qanun jinayat;

Memperhatikan data di atas membuktikan bahwa hukuman cambuk ini terus berproses dan tidak mempunyai hambatan dalam penegakannya (law enforcement) tak terkecuali di era new normal ini. Memang, pada awal pelaksanaan eksekusi cambuk banyak putusan hakim dalam perkara jinayat ini tidak lancar pelaksanaan eksekusinya di Kabupaten/Kota. Kendala itu lebih sering terkait anggaran eksekusi, tapi itu dulu. Sekarang terkait anggaran eksekusi ini telah lancar. Bisa jadi pemerintah kabupaten/kota waktu itu belum begitu melihat urgennya keberadaan dan peran Mahkamah Syar’iyah sebagai lembaga peradilan nasional yang setara dengan lembaga peradilan lainnya dalam mewujudkan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat. Sekarang pemerintah daerah pada Kabupaten/Kota di Aceh telah pro aktif mendukung pelaksanaan eksekusi tersebut. Begitu pula Kejaksaan Negeri setempat sebagai lembaga yang diberi otoritas pelaksana eksekusi (eksekutor) terus mengambil peran sesuai bidang tugasnya.

Sebelum pandemi covid-19 menyebar, persidangan perkara jinayat digelar secara normal (manual) di dalam ruang sidang Mahkamah Syar’iyah dengan di hadiri secara langsung oleh Terdakwa dan Penuntut Umum serta  penasehat hukum, akan tetapi di masa pandemi covid -19 ini Mahkamah Syar’iyah telah menyidangkan perkara jinayat  secara teleconfrence, Terdakwa mengikuti sidang berada di lembaga pemasyarakatan, Penuntut Umum di Kantor Kejaksaan Negeri dan Hakim di ruang sidang Kantor Mahkamah Syar’iyah. Melihat fenomena pandemi covid-19 yang belum ada kepastian kapan berakhirnya, maka Mahkamah Agung RI di era new normal ini terus mencari terobosan-terobosan agar penegakan hukum tetap bisa berjalan dan wabah covid-19 pun bisa dikendalikan (tidak menyebar), dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Untuk mengantisipasi hal itu, maka pada tanggal 25 September 2020 Mahkamah Agung RI telah menerbitkan regulasi berupa Peraturan Mahkamah Agung nomor 04 Tahun 2020 sebagai pedoman persidangan perkara pidana secara elektronik. Peraturan ini berlaku untuk peradilan umum, peradilan militer dan Mahkamah Syar’iyah.

Putusan hakim Mahkamah Syar’iyah terhadap kasus-kasus di atas ada yang dihukum dengan cambuk, penjara dan denda, kecuali terhadap kasus zina, qadhaf dan khamar. Ketiga kasus ini wajib hukumnya dengan dihukum cambuk bila terbukti di persidangan, karena ke tiga kasus ini adalah wilayah hudud yaitu hukumnya telah ditentukan oleh Allah Swt secara pasti.

Alternatif hukuman tersebut di atas memang dibenarkan oleh qanun nomor 6 Tahun 2014 tentang hukum Jinayat sebagai hukum materil. Akibat pemberian alternatif hukuman itu, akhir-akhir ini ada yang menyoroti putusan hakim dalam kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual terhadap anak.[13] Karena sebagian hakim menjatuhkan hukuman cambuk, namun sebagian lainnya menjatuhkan hukuman penjara artinya dalam kasus yang sama terjadi hukuman berbeda dalam penerapannya. Hakim dalam hal ini memang tidak bisa dipaksa supaya harus seragam dalam penjatuhan hukumannya karena qanun memberi alternatif hukuman seperti itu dan itu juga merupakan kemerdekaan hakim. Hukuman cambuk yang dijatuhkan oleh hakim terhadap kasus tersebut ada pihak menganggap ringan, tidak adil dan tidak membuat pelakunya menjadi jera, alasannya, setelah eksekusi cambuk selesai dilaksanakan pelaku dan korban akan kembali ke desanya. Dalam hal ini dikhawatirkan korban anak menjadi trauma dan semakin tertekan psikologisnya melihat pelaku ada di lingkungannya. Sehingga ada yang berpendapat supaya pelaku pemerkosaan atau pelecehan seksual kepada anak sepatutnya dihukum penjara saja bukan dijatuhkan hukuman cambuk. Namun, persoalan tersebut barangkali bisa diselesaikan dengan cara merevisi qanun. Dalam revisi qanun ke depan diberi ruang kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman penggabungan yaitu cambuk dan penjara, sehingga pelaku merasakan dua hukuman sekaligus. Satu sisi pelaku dicambuk supaya menjadi malu dan menjadi i’tibar kepada masyarakat umum, di sisi lain pelaku juga menjalani hukuman penjara, agar pelaku ada kesempatan bertaubat dan memperbaiki diri dalam lembaga pemasyarakatan dan juga sebagai konsekuensi pertanggungjawaban perbuatan jahatnya.

b.    Tujuan Penghukuman dalam Islam

Setiap aturan yang dibuat tentu mempunyai tujuan yang hendak dicapai, di antaranya misalnya untuk ketertiban, keteraturan dan bisa juga untuk tujuan penghukuman bagi masyarakat yang melanggarnya. Sudarto berpendapat “Penghukuman” itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum  suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata, oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam arti pidana, yaitu kerap kali dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama dengan sentence atau veroordeling.[14] Sehingga seringkali ketika menyebutkan penghukuman sama maknanya dengan pemidanaan.

Sebelum sampai pembahasan kepada tujuan penghukuman dalam hukum Islam ada baiknya kita melihat beberapa teori pemidanaan pada sistem hukum konvensional. Terkait teori pemidanaan, para ahli pada umumnya mengelompokkannya ke dalam tiga teori besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien), teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan (verenigings theorien).[15] Selain itu, belakangan berkembang teori-teori treatment dan teori perlindungan sosial (social defence). Beragam teori pemidanaan muncul karena mempertimbangkan berbagai aspek sasaran yang hendak dicapai di dalam penjatuhan pidana.[16] Teori ini dibangun atas asumsi bahwa pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan kejahatan. Pemidanaan dalam teori ini berorientasi pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu karena kesalahan yang telah diperbuatnya. Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah  menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan.[17] Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.

Seperti tampak dari teori-teori di atas, dalam ilmu hukum, pemidanaan pada teori absolut dan teori perawatan lebih diarahkan pada pelaku-pembalasan atau perbaikan perilakunya, teori relatif pada ketertiban masyarakat, sedangkan teori perlindungan sosial lebih kepada pengintegrasian individu ke dalam tertib sosial, bukan pemidanaan perbuatannya.Teori-teori ini berbeda dalam beberapa hal dengan hukum Islam disamping ada hal yang sama. Dari teori-teori di atas dapat disebut bahwa penghukuman bertujuan untuk sebuah tujuan ideal yaitu membentuk keadilan di dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud tentu tidak hanya dalam pengertian sempit; mestinya universal; tidak hanya terkait dengan penegakan hukum tetapi juga ketertiban (meminjam teori relatif) masyarakat secara umum, termasuk ketertiban sosial dan ekonomi.

Adapun tujuan universal hukum Islam—sebagaimana dikemukakan adalah jalb al-masalih wa daf` al-mafasid (meraih kemaslahatan dan menghindari kerusakan) yang terinci menjadi 5 (lima) hal yang menjadi prioritas perlindungan yaitu agama, nyawa, harta, akal, dan keturunan. Sebagai turunan dari kelima hal ini, tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam hukum Islam ialah pencegahan (al-radd wa al-zajr) dan perbaikan dan pendidikan (al-iṣlāḥ wa al-tahdhīb). Pencegahan bermakna menahan agar orang lain tidak melakukan perbuatan yang sama dan pelaku tidak mengulangi perbuatan jarimahnya.8 Jadi, pencegahan diarahkan untuk dua subjek yaitu pelaku dan orang lain. Sedangkan tujuan untuk perbaikan dan pendidikan diarahkan kepada pelaku delik untuk membangun kesadaran dirinya agar menjauhi perbuatan jarimah/perbuatan pidana untuk mendapatkan rida Allah. Kesadaran utama yang dibangun adalah bahwa hukuman di dunia terkait dengan hukuman di akhirat. Jika seorang pelaku dapat menghindari hukuman dunia, maka ia tetap akan mendapatkan hukuman di akhirat. Dengan kata lain, hukum Islam juga bermuatan teori perawatan yang diarahkan pada perbaikan perilaku pelaku kejahatan. Demikian juga teori perbaikan dan pendidikan (al-iṣlāḥ wa al-tahdhīb) dapat disetarakan dengan teori relatif yang menginginkan ketertiban masyarakat.

Namun demikian, ada dua hal yang sangat membedakan tujuan penghukuman antara ilmu hukum dengan hukum Islam. Pertama, kesadaran kepada hari akhirat yang menjadi satu diantara 6 (enam) keyakinan pokok tentang rukun iman. Doktrin ini menyebabkan setiap muslim senantiasa menghubungkan setiap perbuatannya dengan balasan yang akan ia terima pada hari akhirat. Setiap muslim meyakini bahwa ―tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain: (QS. al-An‘am: 164). Al-Qur‘an mengajarakan bahwa orang yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri (QS. Al-Isra‘: 15).Jadi kesadaranhukum setiap muslim berasal dari kesadaran spiritual.

Kesadaran ini menjadikan setiap muslim selalu berusaha berbuat yang terbaik dengan harapan, pada hari akhirat akan mendapatkan balasan yang baik pula. Setiap muslim akan berusaha menghindari perbuatan buruk dan terlarang karena kekhawatiran bahwa perbuatan itu akan mendapatkan balasan yang buruk pula di akhirat nanti. Inilah doktrin utama dalam hukum Islam yang melahirkan kesadaran hukum yang bersifat spiritual. Menurut Ahmad Hanafi, ―Kesadaran semacam inilah yang selalu menjadi idam-idaman sarjana-sarjana hukum positif dan para penguasa pula.[18]

Doktrin bahwa setiap perbuatan—baik dan buruk—akan mendapatkan balasan yang setimpal tidak hanya berlaku antar dua alam yaitu dunia dan akhirat. Dalam banyak ayat al-Qur‘an dan hadis Nabi disebutkan bahwa setiap perbuatan yang baik akan berakibat kebaikan, sementara perbuatan yang buruk juga akan mendapat akibat yang buruk pula. Kedua, sebagai akibat dari keyakinan kepada pembalasansetiap perbuatan pada hari akhirat, lahirlah doktrin pertobatan. Ajaran terpenting yang dibawa al-Qur‘an adalah tentang kehidupan setelah mati. Al-Qur‘an merekam ketidakpercayaan kaum kafir Makkah tentang masalah ini dalam banyak ayat. Al-Qur‘an juga menampilkan ayat-ayat eskatologis ini pada tahap pembinaan keimanan (periode Makkiah). Dengan kata lain, kepercayaan kepada adanya hari akhirat adalah masalah perdana yang dibawa Nabi Muhammad ke tengah-tengah masyarakat Semenanjung Arabia abad ke-7. ―Ajaran inti tentang keberadaan hari akhirat adalah bahwa setiap perbuatan—baik dan buruk, sekecil apapun—akan dikalkulasi dan diberikan ganjaran yang sesuai (QS. 99:7-8). Diskusi tentang akhirat ini dibantah oleh orang-orang kafir Makkah. Mereka menganggap ajaran itu adalah sebuah dongeng yang juga pernah disampaikan oleh orang-orang terdahulu (QS. 83:12-13). Terkait dengan ini, dalam al-Qur‘an disebutkan bahwa “Allah memaafkan sebagian besar kesalahan-kesalahan manusia” (QS. 42:30). Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi mengajarkan tafsir ayat ini kepada ʻAli bin Abī Ṭālib yang artinya:  Abū  Sukhaylah  memberitakan  bahwa  ʻAlī  berkata; “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang ayat yang paling utama   dalam   Kitab   Allah   Taʻala?   Rasulullah   saw.   telah menceritakannya  kepada  kami,  (yaitu  ayat),  ‘Apa  apa  yang menimpa  kalian  berupa  musibah,  maka  itu  disebabkan  oleh perbuatan    tangan-tangan    kalian    dan    Allah    memaafkan kebanyakannya‘  (QS.  Asy-Syura:  30).  Kata  Nabi,  saya  akan menafsirkannya  kepadamu  wahai  ʻAlī.  Apa-apa  yang  menimpa kalian  berupa  sakit,  siksaan  atau  cobaan  di  dunia,  maka  itu disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan kalian, dan Allah Taʻala Maha  Pemurah  dari  hendak  mengazab  dua  kali  kepada  mereka ketika di akhirat, sedangkan apa-apa yang Allah maafkan di dunia, maka  Allah  Taʻala  Maha  Lembut  dari  hendak  kembali  setelah memaafkannya.”

Hadis ini dikuatkan oleh hadis-hadis lain, misalnya Nabi bersabda, ―Barangsiapa yang tertimpa musibah dosa, maka tegakkanlah had atas dosa tersebut karena had itu menjadi penebus (kafarat)nya” (HR. Ahmad) dan hadis:“Barangsiapa yang dikenakan had atasnya, Allah mengampuni dosanya tersebut”(HR. al-Dārimī). Dalam praktiknya, setelah merajamseorang wanita dari klan Juhainah, Nabi bersabda, ―Ia telah bertobat dengan tobat yang kalau dibagikan kepada 70 orang Madinah, niscaya akan cukup buat mereka. Dan apakah ada yang lebih afdHlm daripada sikap merelakan jiwanya untuk Allah Taʻala”? (HR. (HR. al-Dārimī).[19]

Doktrin-doktrin inilah yang kemudian menjadikan pertobatan sebagai satu dari tujuan pemidanaan dalam hukum pidana Islam. Janji Allah dan Nabi Muhammad bahwa orang yang telah dihukum akan terbebas dari pembalasan perbuatannya pada hari akhirat menjadikan kesadaran untuk mengakui perbuatan menjadi tinggi. Bahkan, dalam beberapa kasus pada masa Nabi, pelaku kejahatan meminta agar mereka dihukum karena telah melakukan suatu kejahatan.

Dua konsep yang saling terkait inilah yang membedakan tujuan pemidanaan dalam hukum pidana Islam dengan hukum pidana konvensional yaitu (1) kesadaran pada keyakinan akan adanya hari akhirat dan (2) pertobatan untuk menghindari ―pemidanaan/siksaan pada hari akhirat. Tujuan-tujuan lain dari pemidanaan antara kedua sistem hukum tersebut relatif sama. Selain itu, dalam hukum pidana Islam dikenal teori jawāzir (pencegahan) dan jawābir (paksaan) yang muncul ketika para ulama fikih membahas apakah hukuman bersifat preventif (pencegahan) atau paksaan (balas dendam).[20] Menurut `Izz al-Dīn `Abd al-Salām, perbedaan antara jawāzir dan jawābir antara lain (1) jawāzir dimaksudkan sebagai pencegahan agar tindak pidanatertentu tidak terjadi, sedangkan jawābir lebih dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan; (2) jawāzir berkaitan dengan jarimah yang melawan larangan syarak, misalnya perzinaan, pembunuhan,pencurian, perampokan,  pemberontakan, menuduh berzina, dan meminum minuman keras, sedangkan jawābir berkaitan dengan jarimah terhadap jiwa, anggota badan, manfaat anggota badan, ibadah, dan harta; (3) jawāzir berkaitan dengan jarimah hudud dan takzir yang hukumannya ditetapkan melalui mekanisme peradilan, sedangkan jawābir berhubungan dengan jarimah yang pelaksanaan hukumannya diserahkan kepada pihak yang dirugikan.[21] Jika dikaitkan dengan teori-teori tujuan pemidanaan dalam hukum pidana,jawāzir dan jawābir terkait dengan teori absolut atau teori pembalasan dan teori relatif (deterrence) yang menyatakan tujuan pemidanaan antara lain adalah untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat sekaligus untuk mencegah (prevensi) terjadinya kejahatan.

III. PENUTUP

A.   Kesimpulan

1.    Penegakan hukuman cambuk di masa pandemi covid-19 ini tetap eksis, persidangan dan pelaksanaan eksekusinya berjalan tanpa kendala. persidangan perkara jinayat dilaksanakan secara daring (elektronik), dengan menerapkan protokol kesehatan.

2.    Tujuan penghukuman dalam Islam adalah jalb al-masalih wa daf` al-mafasid (meraih kemaslahatan dan menghindari kerusakan) yang terinci menjadi 5 (lima) hal yang menjadi prioritas perlindungan yaitu agama, nyawa, harta, akal, dan keturunan. Sebagai turunan dari kelima hal ini, tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam hukum Islam ialah pencegahan (al-radd wa al-zajr) dan perbaikan dan pendidikan (al-iṣlāḥ wa al-tahdhīb). Pencegahan bermakna menahan agar orang lain tidak melakukan perbuatan yang sama dan pelaku tidak mengulangi perbuatan jarimahnya. Sehingga terciptalah ketertiban, kedamaian dan keteraturan dalam masyarakat.

B.   Saran

1.    Agar keberadaan Mahkamah Syar’iyah di Aceh ke depan menjadi peradilan syariat yang modern dan  bermartabat, perlu dorongan dan penguatan sarana-prasarana, karena kasus pidana yang ditangani di Mahkamah Syar’iyah tidak hanya kejahatan/pelanggaran syariat yang dilakukan oleh orang dewasa, namun banyak juga terkait dengan pelaku pidana dan korbannya adalah anak. Terhadap penanganan terhadap anak ini butuh ruang sidang tersendiri, dan selama ini masih memakai ruang sidang untuk orang dewasa.

2.    Pembekalan pelatihan bagi aparat peradilan syariat Islam, terutama hakim, untuk meningkatkan pengetahuan dan memperdalam disiplin ilmu  pidana Islam, sehingga bisa menjawab kasus-kasus pidana Islam dalam kontek kekinian yang terus berkembang.

3.    Untuk memperkuat eksistensi penerapan hukuman cambuk yang dianggap ringan dalam kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual kepada anak, perlu merevisi qanun supaya hakim dapat menjatuhkan dua hukuman sekaligus terhadap pelaku.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi,  Asas-asas Hukum Pidana Islam,  Jakarta: Bulan Bintang, 1967.

Ali, “Hubungan al-Qur’an dan Hadis: Kajian Metodologis terhadap Hukuman Rajam”, Disertasi pada Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, 2014.

Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana    Penjaradi Indonesia, Bandung : PT. Rafika Aditama, 2009.

H.Muhammad Syarifuddin, Transformasi Digital Persidangan Di Era New Normal, melayani pencari keadilan di Masa covid – 19, Jakarta, PT. Imaji Cipta Karya, Agustus 2020.

‘Izz al Din ‘Abd al-‘Aziz bin ‘Abd al-Salamal-Qawaid al-Kubra: al-Mawsum fi Qawa’id al- Ahkam fi Islah al-Anam,Damaskus: Dar al-Qalam, t.th.

Juhaya S. Praja, Teori-teori Hukum Islam: Suatu Telaah Perbandingan dengan Pendekatan Filsafat, Bandung:Univertsitas Islam Negeri, 2009.

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, cet. ke-7, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Muslim Zainuddin/dkk, Problematika Hukuman Cambuk di Aceh, cet. ke-2, Banda Aceh: Dinas Syari‟at Islam Aceh, 2011.

Rusydi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari‟at Islam di Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, cet. 1, Jakarta:Logos wacana Ilmu, 2003.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni,1981.

Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politiea, 1996.

Utrecht, E., Hukum Pidana I, Jakarta:Universitas Jakarta, 1958.

Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006

Qanun Nomor 7 Tahun 2013

Qanun Nomor  6 Tahun 2014


[1]H. Muhammad Syarifuddin, Transformasi Digital Persidangan Di Era New Normal, melayani pencari keadilan di Masa covid – 19, (Jakarta, PT. Imaji Cipta Karya, cet. I, Agustus 2020)hlm. 5.

[2]Sumber: Tempo. Co. terbitan Senin, tanggal 20 April 2020, pukul 11.45 Wib.

[3]Penjara adalah salah satu bentuk hukuman yang paling dominan dijatuhkan Hakim dalam pidana umum di Indonesia. Pasal 10 KUHP menyebutkan jenis-jenis hukuman, yang terdiri dari hukuman-hukuman pokok dan hukuman-hukuman tambahan. Hukuman-hukuman pokok yaitu (1) hukuman mati; (2) hukuman penjara; (3) hukuman kurungan; (4) hukuman denda. Adapun hukuman-hukuman tambahan yaitu (1) pencabutan beberapa hak yang tertentu; (2) perampasan barang yang tertentu; (3) pengumuman keputusan hakim. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (Bogor: Politiea, 1996), hlm. 34.

[4]Hukuman cambuk, sebat atau dera dalam bahasa Arab disebut jild berasal dari kata jalada yang berarti memukul di kulit atau memukul dengan cambuk yang terbuat dari kulit. Jadi hukuman itu sangat terasa di kulit meskipun sebenarnya ia lebih ditujukan untuk membuat malu dan mencegah orang untuk berbuat kesalahan dari pada menyakitinya. Lihat dalam: Rusdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, Problem, Solusi dan Implementasi, (Penerbit: Logos wacana Ilmu, Cet. 1 Agustus 2003), hlm. 109. Di Aceh, sebagaimana di atur  dalam Peraturan gubernur nomor 10 Tahun 2005, cambuk yang di gunakan adalah rotan berdiameter 0,75 sampai dengan 1 (satu) centimeter, panjangnya 1 meter, tidak mempunyai ujung ganda dan pada pangkalnya ada tempat pegangan.

[5]Ada 10 (sepuluh) pelanggaran yang berpotensi dijatuhkan hukuman oleh Hakim Mahkamah Syar’iyah versi qanun nomor 6 tahun 2014 yaitu 1. Zina 2. Minuman khamar, 3. Qadhaf 4. Pelecehan seksual 5. Pemerkosaan 6. Maisir (judi) 7. Homo seksual 8. Lesbian 9. Khalwat 10. Ikhthilat. Vide Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Pasal

[6]Sumber data: Rekapitulasi Laporan perkara jinayat yang telah diputus, belum dan sudah dieksekusi pada Mahkamah Syar’iyah se Aceh  Tahun 2020. Data ini diakses tanggal 14 Oktober 2020, data ini masih tentatif sifatnya karena menurut Panitera Muda Jinayat Mahkamah Syar’iyah Aceh Dra. Aklima Juned, belum semua data masuk dari Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota hingga medio Oktober 2020 ini.

[7]Muslim Zainuddin, Probelamtika Hukuman cambuk di Aceh, cet.kedua (Dinas Syariat Islam Aceh), hlm. 10.

[8]Rusdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, Problem, Solusi dan Implementasi, (Penerbit: Logos wacana Ilmu, Cet. 1 Agustus 2003), 1 hlm. 110.

[9]Rusdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam …, hlm. 48.

[10]Rusdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam …, hlm. 41.

[11]  Muslim Zainuddin, Problematika hukuman cambuk …hlm. 109

[12]Lihat Pasal 3 ayat (2) Qanun nomor 6 Tahun 2004 tentang hukum Jinayat.

[13]Dalam pasal 47 Qanun Nomor 6 tahun 2014 disebutkan” setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 terhadap anak, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 90 (sembilan puluh) kali atau denda paling banyak 900 (sembilan ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 90 (sembilan puluh) bulan. Dan dalam pasal 50 Qanun Nomor 6 tahun 2014 disebutkan “setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah pemerkosaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 terhadap anak diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling sedikit 150 (seratus lima puluh) kali, paling banyak 200 (dua ratus) kali atau denda paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) gram emas murni, paling banyak 2.000 (dua ribu) gram emas murni atau penjara paling singkat 150 (seratus lima puluh) bulan, paling lama 200 (dua ratus) bulan.

[14]Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 71

[15]Utrecht, Hukum Pidana I (Jakarta:Universitas Jakarta, 1958), hlm. 157.

[16]Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana  Penjaradi Indonesia (Bandung : PT. Rafika Aditama, 2009), hlm. 22.

[17]Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 105.

[18]Ahmad Hanafi,  Asas-asas Hukum Pidana Islam,  Jakarta: Bulan Bintang, 1967.hlm. 256.

[19]Lihat penjelasan lebih lanjut tentang hadis ini dalam Ali, ―Hubungan al-Qur‘an dan HadisKajian Metodologis Terhadap Hukuman Rajam”, disertasi pada pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, tidak diterbitkan, hlm. 203 dst.

[20]Juhaya S. Praja, Teori-teori Hukum Islam: Suatu Telaah Perbandingan dengan Pendekatan Filsafat (Bandung: Univertsitas Islam Negeri, 2009), hlm.111.

[21]Juhaya S.Praja, Teori-teori Hukum Islam …, hlm.112 – 113. ‘Izz al Din ‘Abd al-‘Aziz bin ‘Abd al-Salamal-Qawaid al-Kubra: al-Mawsum fi Qawa’id al- Ahkam fi Islah al-Anam (Damaskus: Dar al-Qalam, t.th.) hlm. 263-273.

Tags: No tags

Comments are closed.